Mungkin emang tindakan blokade rel itu salah besar. Nol besar. Itu sebuah blunder bagi kami (kalau tidak bisa menyalahkan BEM UI), mahasiswa UI. Gue pun sempat search tweet tentang blokade rel tersebut dan menemukan ada banyak orang yang gak bisa ikut UAS karena kereta hanya sampai Stasiun UI. Ada juga yang gak sempat jenguk kerabatnya yang sedang sekarat hingga akhirnya kerabat tersebut meninggal dunia. Ada juga ribuan komuter yang terlambat pulang kerja sehingga mereka harus berjalan kaki menyusuri rel untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka akhirnya mengutuk kami mahasiswa UI setelah disulut oleh tweet pionir dari si Macan kampungan itu. Mereka akhirnya hanya melihat kami sebagai mahasiswa bermodal uang yang sekolah di UI dan bisanya berfoya-foya. Sedangkal itukah pikiran mereka? Baiklah, mari kita luruskan ketidaktahuan mereka dengan membaca sejenak postingan yang ditulis oleh Wakil BEM UI 2013, Azhar Nurun Ala, yang bisa ditemui di blog pribadi beliau.
========================================================================
Ketika Pedagang Harus Menunggu Pak Jonan di Atas Rel
Written by Azhar Nurun Ala; Photos by: Garda Sembiring
Saya menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya pelan-pelan. Sembari memejamkan mata untuk beberapa lama, lantas memaknai ulang nasihat itu:“Jangan pernah salahkan mereka yang tidak tahu.”
Para pedagang stasiun ini, bersama mahasiswa, KRL Mania dan LBH Jakarta sudah tempuh jalan yang amat sangat manis: dua kali datangi BUMN, tiga kali datangi Komnas HAM (Komnas HAM keluarkan 2 surat teguran dan entah berapa kali teguran lisan), datangi Istana, bahkan datangi Kantor PT KAI di Bandung. Kesemuanya dilakukan untuk sebuah niat baik untuk kebaikan bersama: adanya dialog yang komprehensif antara PT KAI dengan Pedagang.
Mengapa perlu ada dialog yang komprehensif? Karena tentang kontrak, transaksi, dan segala deal yang pernah dibuat antara pedagang pemilik kios dengan PT KAI (yang sekalipun itu hanya oknum Pejabat PT KAI, tetap saja tanggung jawab PT KAI) ada berbagai versi dengan kerumitan kasus yang berbeda. Dengan kronologis yang beragam. Dan jelas dengan Pejabat PT KAI yang juga mungkin berbeda. Sebab itu kami pikir penting kiranya KAI sebagai sebuah Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat (sesuai maksud dan tujuan pendirian BUMN dalam UU no 19 2003 tentang BUMN) ini bersedia mengesampingkan sejenak arogansinya untuk sama-sama membahas masalah ini dengan para pedagang.
Mengapa perlu ada dialog yang komprehensif? Karena ini berkaitan dengan hidup ribuan orang (khususnya penggiat usaha yang bergantung pada keberadaan kios-kios merka di stasiun). Hidup yang saya maksud di sini adalah hidup dalam arti paling sederhana: bisa terus bernafas, makan dan minum.
Jalur hukum pun tengah ditempuh. Tapi bisakah kita menggantungkan nasib hanya pada hukum Indonesia yang prosesnya entah berapa tahun dan begitu mudah dibeli?
Saya juga ingin menyampaikan beberapa hal yang saya dapatkan di lapangan.
Ada yang bilang para pedagang ini sudah menyepakati kontrak bahwa mereka harus bersedia digusur tanpa ganti rugi. Mungkin ini jadi kelalaian pedagang beberapa tahun lalu. Tapi apa yang harus mereka lakukan bila mereka (yang sedang tertekan dan hidup dalam keterpaksaan ini) dipaksa setuju dan tanda tangan dengan ancaman tak boleh lagi berdagang? Alhasil, mereka tandatangani lah perjanjian yang dibuat sepihak tersebut (perjanjian ini pun punya beberapa versi). Alhasil, mereka beli lah kios-kios belasan sampai puluhan juta itu—sebagian dengan menghutang.
Ada yang bilang para pedagang ini sudah setuju kios-kiosnya dibongkar. Adakah yang bisa membayangkan apa yang dirasakan para pedagang bila sang kepala stasiun memberikan surat pemberitahuan penggusuran ini dengan ditemani 5 orang Brimob dan 5 orang marinir bersenjata laras panjang? Lalu dipaksa tanda tangan tabel kosong. Lalu hampir tiap hari merasa terintimidasi oleh aparat-aparat tersebut yang mondar-mandir di depan kios mereka. Jadi apakah benar sebagian pedagang sudah setuju? Bukan. Bukan Setuju. Tapi pasrah dalam ketakberdayaan.
Jadi, jangan. Jangan pernah samakan pola pikir para pedagang dengan Dirut PT KAI yang sudah pasti cerdas karena katanya pernah sekolah di Harvard.
Kemudian tentang aksi menunggu kehadiran Dirut KAI Ignasius Jonan di atas rel beberapa hari yang lalu, tentu kami mohon maaf sebesar-besarnya atas kenyamanan yang sempat terganggu.
Namun barangkali ada beberapa hal yang juga perlu kita renungkan:
Bila kita, yang biasa tempuh perjalanan dalam waktu 1-2jam lalu dengan keterlambatan kereta ini jadi merasa cemas dan kesal selama lebih kurang 5jam, bagaimana dengan para pedagang yang hampir dua bulan terakhir ini tak pernah nyenyak tidurnya karena dihantui ketakutan: tentang akan makan apa keluarganya, akan bagaimana masa depan anak-anaknya, akan bagaimana pekerjaannya, akan apa yang dilakukan ketika kiosnya (sebagai sumber penghidupannya selama bertahun-tahun ini) diratakan begitu saja. Tanpa kejelasan bahkan sekadar dialog.
Bila kita, yang biasa tempuh perjalanan dalam waktu 1-2jam lalu dengan keterlambatan kereta ini jadi terlambat bertemu keluarga di rumah, bagaimana dengan para pedagang yang bila jadi digusur dalam waktu 3jam saja keluarganya kehilangan masa depan.
Dan bila Bapak Ignasius Jonan, sudah ditunggu di atas rel saja tidak bersedia hadir bahkan sekadar kirimkan perwakilannya untuk bicara dengan para pedagang, betapa arogannya Direktur Umum PT KAI (yang merupakan Badan Usaha Milik Negara) ini. Tawaran “kami akan berhenti menunggu di rel bila Ignasius Jonan atau setidaknya perwakilannya menemui kami” itu entah dianggap sebagai apa. Padahal harusnya ada reaksi yang sigap, bila Pak Jonan memang tulus ingin mengutamakan pelayanan publik.
Saya juga menyesalkan Pak Gubernur Jakarta, Jawa Barat, dan Walikota Depok yang sampai sekarang masih diam saja (belum bersikap) padahal rakyatnya jelas-jelas telah diintimidasi polisi dan marinir bersenjata, dianiaya oleh preman bayaran PT KAI dan dilanggar HAM-nya. Sebagian telah dirampas pekerjaannya. Semoga Bapak-bapak sekalian juga bisa segera bertindak, bantu mediasi dan ikut pikirkan nasib para pedagang ini. Dan yang dibutuhkan para pedagang bukanlah spanduk besar dengan senyum sumringah dan ucapan belasungkawa dari Bapak, tapi tindakan dan tanggungjwab tegas seorang pemimpin: seorang yang bergantung padanya harapan jutaan rakyat.
Para preman berperawakan Indonesia timur yang tiba-tiba datang dengan linggis dan balok menyerang kios secara membabi buta
Penggusuran dilanjutkan oleh aparat
Preman dan polisi berkolaborasi bongkar paksa kios dan lakukan penganiyaan terhadap pemilik kios dan mahasiswa
Upaya pertahankan kios terakhir, mahasiswa dan pedagang vs preman dan polisi
Ibu Mariana, pemilik kios yang akhirnya hanya bisa pasrah dan menangis didampingi mahasiswa
Sisa-sisa gusuran, puing-puing masa depan
Di atas rel, pedagang tunggu klarifikasi Ignasius Jonan / Perwakilan KAI atas pembongkaran paksa dan penganiayaan yang dilakukan Preman sewaan PT KAI
Mohon bantu sebarkan tulisan ini via Twitter, Facebook (terutama post di group-group), Broadcast Message, Group BBM, Group Whatsapp, dan semua media yang bisa digunakan. Silahkan copy-paste, kutip, reblog, repost, atau apapun selama untuk tujuan yang baik: mengabarkan kebenaran ke seluruh Indonesia. Copy-paste link ini wp.me/p28mfM-xD
=======================================================
Inilah pendapat dari sisi mahasiswa BEM UI. Semoga Anda susah cukup cerdas untuk melakukan sintesis dan evaluasi dari kedua sisi :)