Rabu, 05 Desember 2012

INI HANYA FIKSI


Barbie. Hari ini aku bermain bersama Barbie. Kamu tau Barbie, kan? Itu lho, boneka yang menjadi figur ideal seorang wanita dewasa. Aku memang seorang seorang fans berat Barbie! Aku punya semua seri Barbie dan Ken. Bahkan walaupun aku sudah SMA, aku masih suka bermain Barbie! Ya, sosok yang sangat menginspirasi aku untuk menjadi remaja bertubuh sempurna seperti Barbie. Saat itu aku belum tahu bahwa sosok Barbie yang sempurna itu banyak membunuh para wanita yang tubuhnya ideal atau berusaha seideal Barbie dengan cara yang salah.

Oh ya, namaku Alice. Aku remaja kelas 3 SMA di salah satu sekolah unggulan di selatan Jakarta. Kalau kata mereka, sekolahku itu sekolah gaul! Hahaha. Bahkan aku termasuk the it girl di sekolah. Siapa yang nggak kenal aku? Alice Putri Hardjo, seorang cheerleader bertubuh seksi dan berparas cantik yang baru saja menjadi juara utama Olimpiade Matematika tingkat Internasional di Rusia. Aku juga seorang sekretaris umum OSIS saat duduk di tahun kedua. Kini aku sudah tahun ketiga, aku harus fokus mengejar kampus idamanku. Hahaha, aku memang si jenius yang eksis nan rupawan.

Banyak sekali laki-laki yang suka padaku dan ingin menjadi pacarku. Tapi, seksi-seksi begini, aku bukan cewek murahan¸ lho! Aku punya prinsip. Aku hanya akan punya pacar jika aku sudah mapan dan bekerja. Cowok yang mau jadi pacarku pun harus benar-benar serius dan sudah bervisi ke depan. Aku nggak mau jadi cewek yang menghambur-hamburkan uang orang tuaku, kecuali untuk membeli barbie, sih. Hehehe.

            “Alice, gue suka sama lo, mau ga lo jadi pacar gue?”
            “Alice, lo sebenernya lagi suka sama siapa, sih?”
            “Alice, gue suka sama lo dari kita masih SMP. Kenapa lo nggak pernah ngelirik gue?”
            “Alice, kalo gue lesbi mah, gue mau kali sama lo! Cantik banget, sih, luuuu!!!”
            “Alice, ini ada boneka Ken buatmu. Aku berharap aku bisa menjadi Ken bagimu”

Itu hanya segelintir dari beberapa permintaan dan gombalan dari mereka yang ingin mendekatiku. Simpel, aku hanya membalas, “Maaaaf, aku belum mau pacaraaan!” Hihihi. Wajar, jika sekarang aku hanya berteman dengan wanita. Aku nggak mau terlalu dekat dengan laki-laki. Bukan! Bukan karena aku lesbian! Tapi karena aku nggak mau mereka berakhir jatuh hati kepadaku. Aku bukannya gede rasa, tapi sebagian besar dari teman laki-lakiku pasti jatuh cinta kepadaku! Aku nggak mau menyakiti banyak hati pria. Jadi aku memilih untuk tidak terlalu dekat dengan mereka.

“Hey, gue pulang duluan ya, guys! Gue mau istirahat di rumah mumpung ga ada latihan cheers”, aku berpamitan kepada geng cewekku setelah bel sekolah berbunyi.

“Ah, cupu! Katanya mau pajamas party di rumah gue? Kita udah bawa baju, nih! Kalo nggak ada lo, kita cuma bisa delivery Mekdi!”, Silvi mengomentari. Ehm, sombong dikit nih ye, aku juga pintar masak, lho! Aku selalu menjadi koki setiap kali ada acara menginap. Mungkin karena kegiatanku banyak sekali, makan sebanyak apa pun, aku nggak akan jadi gendut! Lucky me!

“Yah, maaf deh.. gue capek berat, bro! Dari kemarin gue selalu latihan untuk persiapan lomba Sabtu besok di Senayan City. Anyway, lo semua pada dateng, kan?”

“Sudah, sudaaah. Lo istrihat aja gih, kasihan. Nanti kita berlima nginep di rumah Dhila. Kalo lo berubah pikiran dan bete di rumah, langsung ke rumah Dhila aja, ya! Besok kita dateng, kok. Tapi sebagai hukuman, lo harus traktir kita sushi!”, Kathya ini sebenarnya membelaku atau memojokkanku, sih?! Kok dia malah minta aku untuk mentraktik mereka!
         
   “Nah, ini gue suka!”
    “Setuju!”
    “Couldn’t agree more!”
          
Nah, sekarang Silvi, Dhila, dan Kania menyetujui usul Kathya untuk malakin aku. Emang mereka ini kerbau kelas kakap yang bisa makan berkilo-kilo makanan tanpa berubah jadi kerbau! Karena itulah kita cocok! Hahaha. Bahkan moto kami adalah ngumpul-ngumpul tanpa kuliner seperti berkumpul bareng onta!

“Ah, dasar ratu resek! Ya, pokoknya besok kalian nggak boleh telat ke sampai sana! Perlombaan mulai jam 13.00 dan gue ga tau nih gue tampil jam berapa. Gue duluan yaaa!! Besok lu bawa mobil ya, Dhil. Gue males bawa mobil”
          
  Gue selalu pulang-pergi sekolah naik angkot, lho. Mandiri, kan? Gue nggaksuka menghambur-hamburkan uang nyokap untuk hal yang nggak penting. Rumah gue itu terletak di bilangan Pondok Kelapa, Jakarta Timur, sedangkan sekolah gue terletak di bilangan Bukit Duri, Jakarta Selatan. Jam pulang sekolahku itu jam 5 sore bertepatan dengan jam pulang kantor. Hari itu hari Jumat, lengkaplah sudah penderitaanku di jalanan yang macet dan angkot yang penuh sesak. Aku memilih untuk naik Metro Mini karena aku cukup membayar seribu rupiah karena pakai seragam sekolah. Hihihi, ini nih yang aku rindukan jika aku sudah kuliah!
           
 Aku berdiri di tengah Metro Mini sambil memperhatikan seorang lelaki yang berbadan cukup gempal yang duduk di depanku. Di sampingnya, ada seorang ibu-ibu yang tampak kesempitan. Sebenarnya lelaki itu cukup tampan. Dia memakai setelan yang menandakan bahwa posisi  di tempat Ia bekerja cukup tinggi. Tipe seorang lelaki mapan yang sudah siap berumah tangga. Sebenarnya aku tahu kalau lelaki ini ingin menggantikanku berdiri. Tapi apa daya, dia akan lebih memakan tempat jika harus berdiri.

            “Mas, permisi, mas. Saya mau turun, nih.” Ibu itu berkata pada mas-mas tambun di depanku yang duduk di sebelahnya.

            “Oh, sebentar, ya.” Lelaki itu membalas ucapan ibu itu sambil berusaha berdiri. Aku terdorong karenanya, orang-orang di sekitarku juga terdorong. Wah, pokoknya rempong banget, deh! Ibu itu sudah ga sabar ingin turun. Bahkan terus mendorong mas-mas tambun sambil sedikit berteriak, “Oi cepetan, dong! Rumah saya udah mau lewat, nih!”

            “Sabar, ibu, kaki saya terjepit di bangku ini dan nggak bisa keluar” Mas-mas tambun itu membalas dengan nada maklum. Mungkin ia sudah terbiasa dibentak seperti itu karena badan tambunnya. Aku dan penumpang lain sebenarnya sudah membuat jarak yang cukup lebar. Sangat lebar malah kalau yang lewat adalah orang-orang bertubuh normal.

“Ah! Kegendutan, sih kamu! Makanya punya badan jangan kegedan! Nyusahin orang kan jadinya! Harusnya kamu bayar buat 4 orang! Tuh lihat, semuanya jadi susah karena kamu! Rumah saya juga sudah lewat! Saya jadi harus jalan dulu! Tapi gapapa jalan kaki, biar nggak gembrot kayak kamu! Cepat minggir!” Bentakan ibu itu membuat mata para penumpang, termasuk supir dan kernet, tertuju pada lelaki tambun itu. Aku sangat yakin ada rasa malu luar biasa yang dia rasakan. Untungnya, kaki lelaki itu berhasil keluar dari jepitan antarbangku.

“Maaf, ibu. Saya memang besar. Tapi saya juga ingin diperlakukan seperti manusia pada umumnya yang tidak dihina seperti ini. Apa jadinya jika ada orang menghina Anda di muka umum? Pasti Anda akan selalu mengingat wajah si penghina, kan? Maaf, saya juga akan selalu mengingat wajah Anda” Lelaki itu memberikan jawaban yang luar biasa halus, tetapi menyakitkan. Aku melihat wajah ibu itu merah padam lalu ia segera turun dari bus itu.

Setelah ibu itu turun, lelaki tersebut berusaha untuk memasukkan kakinya lagi ke dalam ruang antarbangku. Berdasarkan teori keangkotan, orang yang selanjutnya duduk adalah orang yang yang berada persis di depan orang yang sebelumnya duduk. Well, it’s gonna be me. Dengan sabar, aku menunggunya untuk duduk sempurna di bangkunya sebelum aku duduk.

“Maaf atas kejadian tadi. Pasti kamu nggak biasa melihat yang seperti itu” Lelaki itu membuka pembicaraannya denganku. Aku memang ingin memecah kesunyian, tapi aku terlalu takut untuk memulai.

“Ah, gapapa. Malah aku yang nggak enak sama mas, mas gapapa? Jangan dimasukkan ke dalam hati, mas. Orang memang langsung kasar kalau ada orang yang menghalangi keinginannya. Menurutku, mas nggak gemuk kok, hanya sedikit di atas rata-rata. Bangku ini memang terlalu sempit. Aku juga agak susah memasukkan kakiku” Aku terpaksa berbohong untuk membesarkan hati lelaki tambun itu. Aku berpura-pura sulit memasukkan kaki saat aku duduk.

“Hahaha. Adik ga perlu berbohong. Tapi terima kasih sudah menghiburku. Namaku Yoga, kamu siapa?

Nggak bohong, kok! Aku Alice. Mas Yoga baru pulang kerja, ya? Kenapa mas nggak bawa kendaraan sendiri? Dilihat dari penampilan Mas Yoga, tampaknya Mas Yoga bukan orang yang serbakekurangan..”

“Hahaha, aku sedang memperbanyak aktivitas fisik untuk menurunkan berat badanku. Kalau aku naik kendaraan, kapan aku bergeraknya? Aku sadar aku membesar begini karena aku terlalu memanjakan diri dengan kendaraan pribadi. Asal kamu tahu, aku sudah turun 10 kilogram sejak 3 bulan lalu. Memang terhitung lambat, tapi aku mau ideal secara sehat!” Mas Yoga bercerita panjang lebar tentang keinginannya untuk mengidealkan berat badannya. Di saat orang lain terus terpuruk dengan ejekan orang, justru Mas Yoga menjadikan ejekan itu sebagai tantangan! Luar biasa.

“Wow, hebat! 10 kilogram? Hebat! Jadi, ejekan itu dijadikan motivasi, ya? Apa Mas Yoga nggak pernah merasa sakit hati?”

“Wah, bukan sakit hati lagi, Dik. Ibarat batu yang semakin hari semakin terkikis oleh tetesan air terjun. Memang kalau hanya setetes, batu tersebut tidak akan terkikis, tapi kalo airnya berkubik-kubik, akhirnya hancur juga, kan? Aku juga ingin membahagiakan istriku kelak dengan memberikan aku yang ideal” Ah! Ternyata Mas Yoga sudah punya calon istri! Padahal, di lubuk hatiku yang terdalam, aku sangat kagum padanya. Aku sangat kagum terhadap pendirian dan kegigihannya.

“Cieee, sudah punya calon istri, nih? Hehehehe, sakit hati deh gue! Hahahaa bercanda, mas! Sungguh! Please, jangan anggap saya cewek murahan! Justru saya cupu, udah kelas 3 SMA, tapi belum pernah pacaran! Hahahaha” Oh My God! Gue ngomong apa, sih??? Ini mah namanya menjatuhkan diri sendiri! Aku terus menyalahkan diri sendiri karena berkata seperti itu.

“Hahaha, aku belum punya pacar. Aku nggak mau menikah dengan orang yang dulu menghinaku saat gemuk, tapi mendekatiku saat aku sudah mulai berotot. Sebentar lagi bahkan aku punya sixpacks! Hahahaha. Orang-orang seperti itu munafik. Padahal aku nggak akan selamanya berotot, mereka juga nggak akan selamanya seksi dan menarik. Apalagi jika mereka sudah melahirkan. Apa para suami yang istrinya membesar setelah melahirkan lantas meninggalkan mereka? Justru lelaki yang sempurna adalah mereka yang menerima apapun kondisi pasangannya” GOSH! Jawaban Mas Yoga melelehkan hatiku yang berprinsip tidak akan punya pacar! Saat itu juga, aku merasakan sesuatu. Cinta? Mungkin. Apakah dia adalah Ken untukku?

“Ooooooo so sweet! Mau dong jadi pacar Mas Yoga! Hahahaha”

Beneran?” Uhuk! Is he serious?

“Bener! Hahahaha” Oh, damn! What have you said, stupid?!?!

“Oke, mulai sekarang aku beneran ngedeketin kamu, ya. Aku serius..”

“Ha?”

“Kamu itu unik. You don’t judge me for who I was, you even support me to do better than before. Aku bahkan suka ketika kamu menungguku yang sedang bersusah payah masuk ke bangku resek ini. Mungkin orang bilang ini aku alay karena ngajak cewek kenalan di dalam angkot. But, so what? Toh kita berkenalan dengan cara yang sama sekali nggak alay.” Dia mengakhiri kalimatnya dengan senyuman terindah yang pernah aku lihat! Dengan kedua pipi yang masih chubby, dia terlihat lucuuuuuuuuuuuuuuuuu sekali. He seems like smiling from ear to ear!

Are you serious?”

A hundred percents, if you do

“...............”

“Yooo, terakhir, terakhir, terakhir! Pondok Kelapa, terakhir, terakhir!” Suara kernet yang membahana menyadarkan para penumpang yang sedang tidur, yang sedang mengobrol, atau yang memang turun di pemberhentian terakhir.

“HAH?! OH MY GOD! Rumah gue kelewatan, baaang!!!! Kok gue ga dikasih tau, siiiih??? Jahat lu, bang! Bales dendam sama gue, ya?” Aku seketika berteriak ke Bang Udi, si kernet Metro Mini yang sangat aku kenal. Percaya, nggak? Dia juga suka padaku, tapi kutolak cinta abang kernet itu! Hehehehe. Makanya, kupikir dia membalas sakit hatinya dengan tidak memberitahu bahwa rumahku sudah terlewat!

“Yeeee, lagian lu serius banget ngobrolnya. Gue jadi nggak enak, takut mengganggu. Cewek cantik emang susah, deh. Tuh, si cowok gembrot itu aja sampai bengong ngeliat lu!” Bang Udi sinis banget menanggapi kami yang asyik mengobrol!

“Yeee, bilang aja iri lu! Kepengen banget ngobrol sama gua? Hahaha!” Aku membalas sekenanya saja kepada Bang Udi. Lalu aku mengajak Mas Yoga untuk turun dari Metro Mini, “Ayo turun, mas! Mau gantiin Bang Udi ngernet? Hahahaha.”

“Aku mana bisa turun kalau kamu nggak turun....” Mas Yoga menjawab dengan memelas. Oh iya!

“Beruntunglah kalau lu sampe ngedapetin Alice. Banyak banget yang mau sama dia. Bahkan gue pernah bela-belain minjem kemeja bagus ke temen gua cuma buat nyamperin dia ke rumahnya! Mana gua disuruh bayar lagi, sepuluh rebu sehari. Gua seriusan suka sama dia. Tapi, dia nolak gua. Hiks hiks. Akhirnya dari tadi gua cuma bisa memandang dia dari pintu angkot resek ini...” Entah kenapa Bang Udi ngomong seperti itu ke Mas Yoga seakan-akan aku dan Mas Yoga akan berakhir bersama.

“Hahaha, tenang aja, bang. Gue akan selalu ngejagain dia. Lo nggak liat nih badan gua kayak Ade Rai dipompa Nitrogen begini?” Mas Yoga membalas dengan bahasa yang sudah disesuaikan dengan tingkat kegaulan Bang Udi.

“Wahahaha! Oke, deh, ati-ati, ya! Mau narik lagi nih!” Bang Udi lalu pergi lagi bersama Metro Mini yang disupiri oleh ayahnya itu. Aku dan Mas Yoga pun melambaikan tangan ke arahnya.

So? What do you think? Can I be someone who’s trying to get you? I know you’re just a third grade high school student and I’m a 25th years old man. But, i’ll be right here waiting as long as you want me to wait for you. It’s hard for me to fall in love, but when it’s the time, i’ll never let her go..

I’ll be having my last cheerleading competition tomorrow at Senayan City. The competition will be started at 1 pm, but i don’t know my team will perform in what order. Come and see me there, if you really want me to be right beside you. I wanna go home now to take some rest now. Don’t walk before me, i may not follow. Don’t walk behind me, i may be mad at you and won’t look back anyomore. Just be there, right beside me

Aku langsung pergi meninggalkan dia dengan hati berbunga-bunga. Selera gue emang cowok yang udah mapan kali, ya? Tapi, rasanya bukan. Bukan karena itu aku suka sama dia. Lelaki tambun itu sudah mengambil hatiku, si seksi yang rupawan ini. Aku sekarang hanya bisa berdoa dan berharap semoga dia besok ada untukku. Kita sama sekali nggak bertukar nomor telepon! Semoga dia besok benar-benar ada di sana, Tuhaaan!! Aku iseng membalikkan badanku untuk melihat apakah dia tetap di sana menatapku dari kejauhan atau bahkan mengikutiku. Jeng! Ternyata dia sudah tidak ada di tempat! Mungkin memang dia turun di pemberhentian terakhir karena rumahnya tidak jauh dari situ. Huh, ada perasaan menyesal kenapa aku jual mahal bangeeeet!! Bodoh, bodoh, bodoh!

Keesokan harinya, aku dan rombongan sampai di Senayan City pukul 10.00. Kita bersiap-siap di backstage yang disediakan oleh pihak penyelenggara. Ada sekitar 20 tim yang akan tampil di acara Jakarta Cheerleading Competition ini. Bagiku, ini adalah perlombaan terakhir karena aku harus menyerahkan karir ini demi masa depan yang lebih baik. Sedih sih, tapi ini keharusan. 20 kelompok tersebut diundi untuk menentukan urutan tampil dan ternyata timku tampil nomor 1! Sejujurnya, tim ini tidak terkalahkan sih. Kami hampir selalu memenangkan semua aja cheerleading. Bagaimana tidak? Teknik dan gerakan kami ini standar internasional! Bahkan semua orang harus menguasai teknik saat jadi flyer maupun jadi base. Hanya satu yang kutakutkan, Mas Yoga tidak akan sempat melihatku berlomba.

Harusnya kemarin aku jangan bilang lombanya mulai jam 1! Ah! Aku mulai menghukum diriku sendiri atas kebodohan dan kejualmahalan ini. Waktu menunjukkan pukul 12.30 ketika aku mendengar teriakan, “Aliceeeeeeee!!!! Uuuuu cemungudh yah cayang akoooo. Kita cemua menjukung kamooooo. Cuuuuupsss!!!” Ah! Itu hanya teman-temanku yang menyemangatiku dengan bahasa bayi! Tapi gapapa, kehadiran kelima sahabatku itu cukup mencairkan ketegangan yang kurasakan. Meskipun aku tetap mengharapkan kehadiran Mas Yoga di antara kerumunan pengujung Senayan City.

“Aaaaa maacih yaaa ­cinta-cintakuuuuuu!!! Aku tampil di urutan pertama, nih! Kalian pokoknya harus ngeliat gue, teriak-teriakan, ikutan nyanyiin ­yel-yel di baris terdepan penonton!”

“SIAAAAAAAAAAAAP!!!!!!” Sahut mereka bersamaan. Uh, emang deh mereka sahabat nomor satu di dunia! Nggak ada yang bisa ngalahin kegilaan jika kami sudah berkumpul! Mereka langsung ke baris penonton untuk sikut-sikutan dengan penonton yang lain yang sudah dari tadi memadati barisan terdepan. Mereka memang orang gila semua! Aku langsung membalikkan badan untuk melakukan blocking panggung dengan teman satu tim ketika ada suara yang baru aku kenal kemarin memanggilku dari belakang.

“Alice..”

Ibarat katak merindukan rawa, aku rasanya ingin segera lompat-lompat kegirangan! Mas Yoga! Itu Mas Yoga!! “Eh, Mas Yoga. You’re really here..” Mungkin merahnya tomat mengalahkan rona wajahku, seperti ada  anak kecil mewarnai wajah ini dengan krayon! Bagaimana tidak? Dia memenuhi janjinya! Dia terlihat sangat tampan dengan balutan celana chino berwarna khaki dan kemeja berwarna biru denim. Simpel, tapi kesannya sangat berbeda dengan setelan kantornya yang menandakan bahwa ia orang ‘tinggi’. Gemuk? Sama sekali tidak!

So, what’s your answer? Am I qualified to be your boy friend?”

Boyfriend?”

Yet, as a start, it’s a boy friend, with a space. If you dont mind

More than qualified! See you, then. I’m kinda busy right now..”

Okay, good luck! You’ll already be the winner for me

You, too.

Dia datang. Dia serius. Dia benar-benar datang ke sini untuk mengejarku. Saat itu juga aku mendapatkan semangat tambahan untuk menghadirkan penampilan cheerleading  yang terakhir dan terbaik sepanjang karir menariku.

1..2..3

“LET’S GO!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar